Rabu, 03 Februari 2021

 Di setiap langit yang kau tatap, ada rindu dan doa yang kutitip.

Selasa, 08 September 2020

Teruntuk Hati

Hai...
Apa kabarmu?
Sekian lama tak berkabar denganmu
Meski doa terbaik selalu ada untukmu
Namun rasanya palsu jika raga tak saling temu

Munafik sekali rasanya
Ketika diri selalu bertanya-tanya
"Baik-baik kah kau disana?"
Sembari mengulaskan senyum bahagia

Ragaku terlalu terbatas untuk sebatas bertemu denganmu
Melihat senyummu
Menyelami setiap gerak-gerikmu
Menertawakan setiap hal bersamamu

Aku tak tahu kapan lagi aku akan melakukan itu
Hanya selalu berharap semoga Ia akan mengatur waktu
Agar raga ini kembali bersamamu
Meski tanya selalu menyelimuti pikiranku,
"Masih berkenan kah kau menemuiku?"

Kamis, 29 Agustus 2019

Sudah (berapa) Lama?

Coba tanyakan hatimu, "sudah berapa lama aku berada disitu?"
atau coba tanyakan, "sudah lama kah aku berada disitu?"
aaahh...begitu banyak pertanyaan berkelana dikepalaku, diotakku, dijiwaku, dimanapun darah ini mengalir. Banyaaaakk sekali.
"Adakah memang aku berada disitu? atau karena aku menanyakannya maka kamu menganggapku ada disitu padahal kenyataannya tidak?"
aaahh...aku gila dengan pertanyaanku sendiri. Aku gila dengan jawaban-jawaban yang kubuat sendiri. Aku gila karena tak pernah berani menanyakan itu lagi kepadamu.
AKU.
adalah seseorang yang selalu mengingat semua memori tentangmu.
adalah seseorang yang selalu ingat warna baju, gerak-gerik, bahkan arti tatapan matamu.
adalah seseorang yang "sok tahu" semua tentangmu, yang bahkan ragaku saja tak lagi melihatmu.
adalah seseorang yang sampai detik ini dan esok nanti akan terus dipenuhi dengan harapan dan impian yang dulu pernah terucap.


Kembali kubongkar kenangan...
kulihat bagaimana aku menyusunnya.
Rapi. Bahkan lebih rapi dari kenangan yang lainnya.
Sebab kuberharap esok nanti ini bukan hanya sekedar kenangan, tetapi menjadi sebuah kenyataan.
Kini kurapikan dan kusimpan kembali...
Hingga saatnya kamu bertanya,
"sudah lama kah (kenangan) berada disitu?"

Kamis, 18 Juli 2019

:)

Langkah kaki menuntunnya untuk terus memandang nanar ke arah barat sembari mengulaskan senyum di wajah sendu itu. 
Sore yang terasa menyenangkan baginya, meski tak sehangat dahulu lagi.
Adalah sore yang selalu dihiasi warna jingga dengan cahaya berkilaunya.
Adalah sore yang selalu membuatnya takjub atas skenario-Nya yang selalu tidak terduga.
dan...
Adalah senja yang selalu bersama sore menuju keperaduannya.
Kakinya kini terhenti di suatu titik dimana senja dapat terlihat dengan jelasnya.
Matanya terpaku. Bibirnya kaku. Wajahnya pilu.
Ada rahasia yang ia simpan sendiri.
Sendiri saja. 
Sebab dunia dan isinya tentu tak akan mau tahu tentang rahasia itu.
Begitupun jiwanya. Kosong. Hampa. Tanpa isi.
Kini ia mulai melangkah pergi.
Ia langkahkan kakinya mengikuti alunan senja yang perlahan warnanya menghitam.
Kelam. Malam.
Langkahnya tiba-tiba terhenti kemudian menoleh ke arah yang sama sekali lagi.
HITAM.
Perlahan ia ulaskan senyum di wajahnya.
Kini senja didekap malam. Hangat senja akan tergantikan oleh dinginnya malam.
Ia teruskan langkahnya seraya menunggu episode (Tuhan) selanjutnya...

Minggu, 06 Januari 2019

"Haruskah kulukai jemari ini agar aku berhenti menulis tentang(mu)?"

(Anonymous)

Semenjak aku mengenal apa itu "hobi" di setiap biodata yang kuisi, selalu kutuliskan "menulis". Meskipun saat itu yang kutahu adalah sekedar menulis diary setiap malam sebelum tidur dan itu rutin. Mungkin jika dikumpulkan sudah puluhan buku diary dengan berbagai macam motif telah kumiliki. Isi tulisannya pun standar, tidak ada yang spesial. Hanya keseharianku dengan beragam kekonyolan yang kualami hari itu. Terkadang sering kuselipkan gambar tak berfaedah di antara paragraf-paragraf tersebut. Pikirku "kelak (diary) ini akan menjadi buku yang tidak membosankan". Impian konyol kala itu. Siapa juga yang mau dan sudi membaca diary anak bau kencur basi macam aku ini. 

Namun hobi "menulis"ku kembali bangkit, ketika tulisan opiniku terpampang di surat kabar. Ada kebanggaan melihat tulisanku sendiri ada di surat kabar lokal disitu (diselipi tertawa geli setengah kurang percaya). Semangat menulisku berkobar... hingga ada disuatu titik dimana aku merasa bosan. Ya... aku ingin istirahat. Sebab ide yang ingin kutuangkan seakan menguap begitu saja. Aku buntu.

Hingga aku kembali menemukan lagi inspirasi itu. Selalu ada inspirasi untuk menuliskan kalimat-kalimat sederhana namun entah kenapa ada yang berbeda ketika aku kembali membacanya. Kubaca berulang, aku juga tak pernah merasa bosan. Aku ada di titik dimana aku selalu menikmati "hobi menulisku". Aku menemukan titik itu. Dan aku tak ingin enyah dari titik kenikmatan menulis itu. Menuliskan hal sederhana namun selalu istimewa. 

Mungkin bagimu ini sekedar "hobi", tapi buatku ini "inspirasi"....

Rabu, 26 Desember 2018

Eccedentesiast

Manusia yang hidup dalam topengnya seolah isi hatinya dipermainkan oleh ulasan senyum di wajahnya. Begitu banyak hal yang ada di dalam hatinya, namun tidak semua hal tersebut harus diumbar ataupun harus diperlihatkan. Senyum yang merekah indah di bibirnya, bukan berarti kebahagiaan menyelimuti hatinya. Namun dunia menginginkannya. Dunia menginginkan senyum indahnya. Dunia tak peduli betapa perih hatinya, betapa pedih perasaannya.

Manusia yang hidup dalam topengnya memang merasakan apa itu "bahagia", meski kebahagiaan dalam arti sesungguhnya hanya cukup ia simpan dalam hatinya. Pikirannya tak pernah lepas dari bagaimana cara membahagiakan hatinya dan bagaimana agar dunia mengetahui apa yang ia inginkan. Namun lagi-lagi senyum menutupinya. Menutupi kegundahannya dalam garis bibirnya menyungging ke atas.

Manusia.
Makhluk lemah yang pandai memainkan peran.
Makhluk yang pandai menutupi isi hatinya.
Betapapun ia pandai berbahagia dan bersuka cita, toh nyatanya tak kuasa ia menahan bulir hujan yang menetes di pelupuk matanya.
Hujan sesaat di malam yang pekat.
Seakan tenggorokan tercekat.
Menahannya untuk berteriak.
Jangankan berteriak, berucap pun ia tak akan sanggup.
Berat.

Minggu, 16 Desember 2018

SORE

Sore itu...
sekitar jam 3 sore,
selepas adzan ashar,
terdengar suara dari bilik jendela tempat biasa kuhabiskan lima hariku dalam seminggu...
kusibak gorden jendela lantas kulihat air berhamburan turun dari langit Jogja yang tak secerah kemarin,
mataku terpaku,
pandanganku menatap hujan sore itu,
Ahhh... sore ini hujan
mungkin nanti tak kulihat lagi senja di sisi barat sana
bagaimana mungkin kulihat senja,
langitpun menggelap menutupi langit sore yang biasanya kulihat...


Sore itu...
sembari menatap hujan,
kuabaikan apa yang ada didepanku,
lebih indah dan syahdu ketika aku menikmati rintik hujan yang tak terasa semakin lama semakin deras,
pernah sekali kudengar cerita atau mungkin kubaca cerita,
entahlah...
tapi intinya tentang hujan...
hujan adalah saat ketika malaikat-malaikat dikirimkan Tuhan ke dunia untuk mendengar doa setiap hambaNya,
seketika sore itu aku takjub membayangkan setiap air yang jatuh adalah malaikatNya,
seketika sore itu aku berdoa...
diam dengan mata terpejam sejenak,
lalu kuakhiri dengan gumam di bibirku mengatakan "aamiin"


Terlalu sederhana yang kulakukan,
bahkan usaha yang kulakukan hanya sebatas itu,
sebab mengubah apa yang terjadi pun adalah hal paling tidak mungkin terjadi,
mengubah sore dengan langit hitam yang menakutkan
menjadi sore dengan langit senja yang selalu menyenangkan


Senja adalah cara sore mengungkapkan cintanya kepada langit,
sebagaimana hujan adalah cara langit mengungkapkan cintanya kepada bumi,
lantas AKU?