Rabu, 26 Desember 2018

Eccedentesiast

Manusia yang hidup dalam topengnya seolah isi hatinya dipermainkan oleh ulasan senyum di wajahnya. Begitu banyak hal yang ada di dalam hatinya, namun tidak semua hal tersebut harus diumbar ataupun harus diperlihatkan. Senyum yang merekah indah di bibirnya, bukan berarti kebahagiaan menyelimuti hatinya. Namun dunia menginginkannya. Dunia menginginkan senyum indahnya. Dunia tak peduli betapa perih hatinya, betapa pedih perasaannya.

Manusia yang hidup dalam topengnya memang merasakan apa itu "bahagia", meski kebahagiaan dalam arti sesungguhnya hanya cukup ia simpan dalam hatinya. Pikirannya tak pernah lepas dari bagaimana cara membahagiakan hatinya dan bagaimana agar dunia mengetahui apa yang ia inginkan. Namun lagi-lagi senyum menutupinya. Menutupi kegundahannya dalam garis bibirnya menyungging ke atas.

Manusia.
Makhluk lemah yang pandai memainkan peran.
Makhluk yang pandai menutupi isi hatinya.
Betapapun ia pandai berbahagia dan bersuka cita, toh nyatanya tak kuasa ia menahan bulir hujan yang menetes di pelupuk matanya.
Hujan sesaat di malam yang pekat.
Seakan tenggorokan tercekat.
Menahannya untuk berteriak.
Jangankan berteriak, berucap pun ia tak akan sanggup.
Berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar