Senin, 06 Februari 2012

Journey #4: TIDUNG Tralala...Dubidubidam...Dam...Dam

“Politik monopoli uang di malam hari?”
(Jum’at, 20 Januari 2012)

Pagi hari yang menjadi hari terakhir di Tidung, rasanya berat banget kalau harus ninggalin pulau sejuta kenangan ini termasuk kenangan bersama nasi asin air laut yang nggak bakalan didapetin lagi kalau udah nyampe Jakarta. Di sisi lain juga merasakan bahagia, bahagia karena akhirnya pulang ke Jakarta!!! Horeeeee.... :D
TIKET KAPAL PULANG
 Sebelum pulang, kami harus bongkar-bongkar tenda dulu sekaligus bersih-bersih basecamp gratisan (POLSEK) yang kebetulan seharian kemaren dititipin ke kita berenam. Usai bersih-bersih basecamp, peralatan, dan bersih-bersih diri kini saatnya sarapan. Makan seadanya bersama jagung rebus sisa semalam, lumayan lah buat mengganjal perut. Saat itu kami pulang nggak naik kapal Kerapu lagi melainkan naik kapal Bisma, karena saat itu kami mengejar waktu sholat jum’at sehingga direncanakan sampai Jakarta sebelum jam 12. Fine...kini saatnya kami benar-benar harus meninggalkan pulau Tidung dengan jembatan keberaniannya (lirik ke Isma). Walaupun tiketnya agak mahal dari tiket sebelumnya waktu naik kapal Kerapu dan kapalnya juga lebih lambat dari kapal Kerapu, namun kami tetap menikmati perjalanan pulang kami. 
TEROMBANG-AMBING DI TENGAH LAUT
Duduk di sisi luar sebelah atas kapal sambil melihat pemandangan laut yang luarrrr biasa indahnya ternyata mengasyikan, ditambah semilir angin laut yang seakan me-ninabobok-an kami, bikin ngantuk! Kapal itu secara perlahan namun pasti membawa kami menjauh dari pulau Tidung, jembatan yang kami namakan jembatan keberanian itu juga semakin lama semakin mengecil hingga tak terlihat lagi. Kini kami benar-benar berada di tengah laut yang jauh dari pulau Tidung maupun pulau Jawa, walaupun selama perjalanan kami juga melihat pulau-pulau kecil yang menjadi bagian dari kepulauan seribu. Hingga akhirnya terlihatlah bangunan-bangunan besar di depan mata kami, ya...kami mulai melihat penampakan dari pulau Jawa terutama Jakarta. Terlihat dengan banyaknya gedung-gedung pencakar langitnya dan bangunan yang waaahh, sangat berbeda dengan Tidung yang lebih banyak menyuguhkan pemandangan hijau yang tentunya tidak didapatkan di kota batavia. Haduh...sediiihhh!!! Kini kami benar-benar sampai di Muara Angke tepatnya di pelabuhan lama, bau ikan itu mulai tercium lagi lebih tepatnya bau khas Muara Angke. Hmmm....luar binasaaaa!!! Sesampainya di Muara Angke kami kemudian naik angkot, angkot yang kami tumpangi itu sopirnya kereeenn banget. Main salip sana-sini udah kayak Donitata, mungkin aja kalau bapak sopirnya agak mudaan dikit udah jadi pembalap tuh! Hahahhaa... setelah bersalip-salip ria bersama angkot, kami kemudian naik busway menuju masjid Istiqlal.
Berhubung waktu itu udah hampir jam sholat jum’at dimulai jadi kami memutuskan untuk sholat disana sekaligus mampir istirahat. Sambil nungguin kaum adam sholat Jum’at, aku sama Rista menggembel di depan masjid tepatnya pelataran. Ngapain? Jawabannya nungguin barang, berasa aneh banget waktu itu soalnya tiap ada orang lewat langsung ngeliatinnya dari atas ke bawah trus ke atas lagi. Mungkin orang-orang yang lewat itu memastikan bahwa kami menapak ke tanah jadi mereka yakin kalau kami itu bukan makhluk jadi-jadian (sekali lagi kalau Rista baca ini pasti bawelnya kumat trus ada pesan masuk di HP saya tertanda RISTA). 
Nggembel didepan ISTIQLAL...
Terlebih kami berenam dikirain orang yang mau demo lantaran jaket kami sama (baca: jaket kelas warna item). Selesai sholat Jum’at baru terasa laparnya, akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat makan dan kami memilih makan ketoprak di depan Istiqlal ditemani es cendol. Seruu...lucuuu...dan kenyang!
Setelah kenyang kami lanjutkan perjalanan, awalnya sih pengen mampir ke Monas waktu itu tapi kondisi kami berenam terlalu capek juga hingga kami putuskan saja untuk mampir sekalian singgah semalam di rumah ibunya Isma di daerah Condet dengan menaiki angkot nomer berapaaa...lupa! Sesampainya si rumah Isma terjadi pertemuan yang sangat emosional, pertemuan ibu dan anak benar-benar sangat emosional antara Isma dengan ibunya (kalau dilihat jadi keinget sama program acara transTV termehek-mehek, untung nggak terseok-seok, atau tersedu-sedu hush apaan sih! Serius nih...). Usai melihat Isma berkangen-kangen ria dengan sang ibu, kami berenam masuk ke rumahnya Isma dan disambut dengan suaminya ibunya Isma. Kami mulai berbincang dengan beliau, logatnya campur-campur agak Arab gitu dan ternyata beliau ini guru di Arab sana (kereeeennn... >,<). Tapi jujur, aku benar-benar ora mudeng sama yang beliau katakan ini soalnya campur bahasa Arab. Tau sendiri lah dulu pas SMA pelajaran paling jeblok adalah bahasa Arab, dan sampai 3 tahun berkutat dengan bahasa timur tengah tetep aja nggak ngerti paling banter yang gue tau itu LA=tidak, NA’AM=iya, dan KHAIR=baik (kemampuan dibawah rata-rata -.-a). Oke...cukup sudah menjelek-jelekan kemampuan bahasa Arab saya, kita lanjut ke cerita di rumah Isma. Setelah ngobrol banyak, ibunya Isma menyuruh kami berenam makan makanan yang ternyata sudah disediakan untuk kami. Hal pertama ketika menyantap makanan di rumah Isma adalah Akhirnya makan nasi yang sesungguhnya... gimana enggak? 2 hari berturut-turut makanannya campuran air laut semua dan saat itu akhirnya ketemu nasi yang benar-benar nasi –nasi yang nggak asin. Hehee... :D
Perut kenyang dan selanjutnya adalah mandi,  merasakan mandi yang sesungguhnya mandi! Nggak pake air asin lagi dan tentunya nggak bau! Horeeee...!!! Akhirnya mandi juga, akhirnya seger juga, dan akhirnya bersih juga. Alhamdulillah banget lah pokoknya. Tapi tapi tapi kenapa ini? Tanganku bentol semuaaaaaa.... wawwawawawawawa... kata Rista aku alergi udara, tapi kenapa pas di Jakartanya? Kenapa justru di Jakartanya , bukan di Tidung? Bentol kecil-kecil dan gatal tapi semakin digaruk bentolnya semakin banyak! Paraaaahhh...aku alergi kota Jakartaaaaa!!! Ooooo...tiiidddaaaakkk! :O
Makan udah, mandi udah, seger udah, bentol-bentol udah (loh???) saatnya...ngumpul bareng sekalian itung-itungan duit, menghitung duit yang udah dikeluarin selama beberapa hari yang lalu dari mulai berangkat sampai saat itu dirumahnya Isma. Itung-itungan duit jadi kayak mainan monopoli, hahhaha...semuanya pegang duit trus ntar duit kumpulin sesuai pengeluaran dan dibalikin ke pemilik asal! Seru lah pokoknya, dan aku namakan itu sebagai Politik Monopoli Uang. Ternyata eh...ternyata pengeluaran kita selama beberapa hari itu berkisar 250 ribuan aja looo! Nggak percaya, mari kita liat rekapannya dibawah ini:

Iuran perlengkapan                            : Rp 40.000,00
Beli tiket kereta PP                            : Rp 70.000,00
Naik Busway  Rp 3.500,00 x 3         : Rp 10.500,00
Naik angkot Rp 2000,00 x 3            : Rp   6.000,00
Sewa alat snorkling                           : Rp 35.000,00
Tiket naik kapal Kerapu PP              : Rp 63.000,00
Lain-lain                                           : Rp 15.000,00 (fleksibel)
TOTAL                                           : Rp 239.500,00

Murah dan asik...oiya yang lain-lain itu sifatnya menyesuaikan kantong anda sendiri-sendiri, kayaknya sih total semua pengeluaran segitu (nggak tau deh kalau ada yang keselip atau kelewatan). Dan monopoli uang malam itu menutup hari Jum’at dengan begitu indah tak terkecuali dengan indahnya tidur kami semua... ^^
*sekali lagi maaf hasil jepretan kurang maksimal tapi cukup lah buat dokumentasi with LG GW-300

Tidak ada komentar:

Posting Komentar