Hai hujan...
derasmu sore itu kembali membawaku tentangnya
tak hanya deras, bahkan angin pun menyertai hujan kala itu
deras dan kencang.
tak kuasa untuk menerjangnya
bahkan untuk sekedar keluar untuk memandangnya pun aku tak sanggup
Hai hujan...
tetesan air sore itu seakan menyiratkan apa tengah kurasa
apalah daya pelupuk mata tak kuasa menahannya
Dingin...sepi... entah kenapa
Hujan sore itu...
seakan membawanya pergi
semakin jauh, semakin jauh, semakin jauh
Tapi Hujan...
bolehkah kupinta satu hal?
Kau boleh membawanya pergi, namun jangan biarkan mendung menyertainya
Sambutlah dia dengan hari yang lebih cerah
Pun ketika rintik hujan turun membasahi bumi
Ijinkan dia tetap menikmati
Ijinkan dia tetap bahagia
Sebab...
entah itu dimengerti atau tidak...
setiap hari aku bercengkrama dengannya
berbicara tanpa kata melalui mata...
Selasa, 20 Februari 2018
Rabu, 31 Januari 2018
DIAM (dalam) DIAM
Diam...
Tanpa sepatah katapun terucap.
Tanpa ada suara yang kudengar.
Sekali lagi aku mengerti arti DIAM
Sekali lagi aku memahami arti DIAM
Meski terkadang ada yang membisikiku sesuatu "Kamu hanya kegedean rasa" atau "Kamu hanya terlalu PEDE dengan pemahamanmu"
Tetapi hati selalu menepis semua bisikan itu
Sekali lagi aku hanya ingin dengar.
Sekali saja.
Tidak hanya diam.
Tetapi kapan?
Sedangkan waktu terus berjalan.
Dan aku tak tau sampai kapan.
Selasa, 23 Januari 2018
Terimakasih untuk tetap Mengingatnya
Terimakasih hari ini karena kau telah mengingatnya...
Mengingat hal paling berkesan dalam hidupku, yang entah suatu saat nanti akan kujumpai kembali atau tidak.
Entah ini masalah rasaku yang terlalu berlebihan atau harapku yang masih melambung tinggi
Namun...
Hari ini aku sangat berterimakasih karena kamu kembali mengingatnya
Menghadirkan kembali hal itu ke dunia nyataku
Dunia nyata namun tetap menjadi khayalan tinggi untukku
Terimakasih untuk waktu yang kau sempatkan...
Meskipun diam, tapi aku paham
Meskipun getir, tapi kau selalu hadir
Sebagaimana tak ada raga, tapi aku selalu merasa ada...
Terimakasih...
Sekali lagi terimakasih...
Sangat berterimakasih...
Mengingat hal paling berkesan dalam hidupku, yang entah suatu saat nanti akan kujumpai kembali atau tidak.
Entah ini masalah rasaku yang terlalu berlebihan atau harapku yang masih melambung tinggi
Namun...
Hari ini aku sangat berterimakasih karena kamu kembali mengingatnya
Menghadirkan kembali hal itu ke dunia nyataku
Dunia nyata namun tetap menjadi khayalan tinggi untukku
Terimakasih untuk waktu yang kau sempatkan...
Meskipun diam, tapi aku paham
Meskipun getir, tapi kau selalu hadir
Sebagaimana tak ada raga, tapi aku selalu merasa ada...
Terimakasih...
Sekali lagi terimakasih...
Sangat berterimakasih...
Senin, 22 Januari 2018
Sepotong Hujan Sore Itu
Sore itu aku berharap waktu berhenti disitu saja.
aku berharap dunia berhenti saat itu juga.
ketika gerimis kecil menyapu kota Jogja dengan syahdunya.
Gerimis yang membawa kesegaran sekaligus berbagai kenangan.
Sore itu ketika tanah kota Jogja mulai basah,
senyumku kembali merekah,
senyum yang indah,
tanpa sedikitpun kata yang kulontarkan namun kamu paham artinya.
Bahkan mungkin tanpa tersenyum pun, kamu memahaminya.
Ah...sesederhana itu.
Sederhana sekali. Sangat sederhana.
Nyaris tak ada mewah-mewahnya sama sekali.
Tetapi entah kenapa bagiku selalu istimewa.
Sepotong hujan yang mengguyur kota Jogja sore itu seakan mengisyaratkan berbagai rasa
Banyak sekali rasa. Tapi terangkum dalam satu makna yang hanya aku yang memahaminya.
Mungkin aku terkesan egois untuk mengatakan bahwa hanya aku yang memahaminya
tetapi...
kalau kamu ingin tau, tengoklah sepotong hujan sore itu.
Semoga pesan yang disampaikannya selalu dapat kau pahami.
Rabu, 17 Januari 2018
PERAMU ASA
Asa dibangun dari sebuah kemauan.
Asa dibangun dari sebuah keyakinan.
Asa dibangun dari sebuah kesempatan.
Aku bersama kemauan dan keyakinanku berdiri tegak membangun sebuah ASA.
Tapi kesempatan? Sayangnya kesempatan belum berpihak padaku dan asaku.
Kesempatan itu sayangnya belum muncul di hadapanku.
Tapi bolehkah terus kubangun asa itu? Sembari menunggu kesempatan itu hadir?
Sering aku menyalahkan waktu. Kenapa kesempatan tidak berpihak dengan asa yang kubangun itu? Kenapa kesempatan hanya hadir untuk asa-asa yang lainnya?
ASA....
hanya bisa meramumu kemudian kunikmati sendiri...
Selasa, 16 Januari 2018
PERAHU
Perahu itu sederhana.
Rakitan perahu itupun hanya dari kayu-kayu tua, namun tetap kokoh menopang beban di atasnya.
Dayungnya pun dari potongan ranting kecil, namun tetap kuat menerjang arusnya.
Tapi entah kenapa menemukan kenyamanan di dalamnya. Aku bahagia berada di sana. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika Aku tetap menjadi AKU....ya, aku tetap menjadi DIRIKU.
Aku memilihmu sebagai perahu, sebab denganmu aku merasakan ketulusan dari setiap sikap yang kamu berikan.
Aku memilihmu sebagai perahu, sebab denganmu aku yakin akan tujuan yang akan dirajut bersama.
Aku memilihmu sebagai perahu, sebab denganmu aku dapat merasakan makna dari setiap senja yang tampak dari ujung barat sana.
Namun kenyataannya...
Perahumu tak kuat untuk menampungku.
Badai besar di lautan lepas seakan tak mengijinkanku untuk terus berada dalam perahumu.
Ombak besar seakan mengisyaratkanku untuk terjun dari situ... perahumu.
Perahu yang harus kutinggalkan, bukan berarti aku tak mau ataupun tak ingin.
Aku hanya ingin perahu tetap berlayar.
Aku hanya ingin perahu selamat sampai tujuannya.
Aku hanya ingin perahu stabil di atas goncangan ombak yang tidak dapat diprediksi ketinggiannya.
Ijinkan aku untuk pergi dari perahu...
bukan berarti aku benci.
aku memilih pergi, karena aku tahu kebahagiaan dariku ternyata tak mampu membuat perahumu tetap berlayar dengan tenang.
aku menghindar karena semakin aku mendekat, justru membuat kapalmu karam di lautan lepas.
Aku tau, aku tak pandai berenang.
Pun ketika aku memilih terjun ke lautan lepas, suatu saat keterampilan berenangku akan terasah dengan sendirinya.
Hai perahu sederhana...
Anganku tentang perahu akan selalu sama.
Rasaku tentang perahu itu juga akan selalu sama.
Meski aku memilih untuk berlayar sendiri, tetapi dari jauh akan selalu kupastikan perahu itu selalu kuat berlayar sampai tujuannya.
Entah bagaimana akhirnya, semoga perahu dan aku dapat berlabuh ditempat yang sama.
Selasa, 26 September 2017
HATI BESAR DAN HATI KECIL
Ketika pentas drama tak sesuai dengan yang kita mau, jawabannya pasrah.
Pasrah bukan berarti menyerah. Sebab pasrah adalah cara paling bijaksana dan sangat adil untuk semua pihak. Wayang pun demikian. Hanya bisa pasrah. Menerima keadaan dengan cara bijaksana. Agar penonton merasa di"bahagia"kan dengan peran yang dimainkan.
Setiap penonton berhak menilai. Berhak pula melabeli atas peran yang dimainkan sang wayang. Silahkan.
Toh, sejatinya yang tau siapa sang wayang sebenarnya hanyalah sang sutradara drama, yaitu Dalang. Sang dalang boleh membuat peran apapun untuk setiap wayangnya. Setiap peran untuk pentas drama yang berbeda-beda. Jadi seperti ini misalnya: Sang wayang menjadi Rahwana di pentas drama A, belum tentu mendapatkan peran Rahwana juga di pentas drama B. Seperti itulah.
Setiap wayang belum tentu memainkan peran buruk, pun juga peran baik. Semua tergantung di pentas drama manakah sang wayang akan "tampil". Menampilkan peran yang (seharusnya) dia kuasai dengan baik, sesuai skenario. Tapi salahkah jika sang wayang berontak atas peran yang sedang atau akan dia jalani? atau mungkin sekedar meminta Dalang untuk mengubah skenarionya. Sedikiiiiiittttt saja. Paling tidak 'nyerempet' dengan apa yang dikehendaki sang wayang, namun tentunya tak mengubah jalan cerita. Hanya diubah atau diperbaiki atau diedit sedikiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttt saja.
Sang wayang memiliki 2 hati: hati besar dan hati kecil. Hati kecilnya mengatakan "aku benci peran ini, Dalang! Bolehkah aku keluar saja dari pentas drama ini kemudian kutemukan sendiri pentas dramaku?". Lain dengan hati kecil, hati besar mengatakan: "ini pentas yang harus aku jalani, penonton harus puas dengan semua "akting"ku".
Coba saja sang Wayang bisa melakukan sesuai hati kecilnya.
Tapi ahh...seringnya setiap wayang menggunakan hati besarnya, bukan untuk kebahagiaannya sendiri namun untuk kebahagiaan orang-orang di sekitarnya.
Iya... berhati besar yang berarti lapang dada dan menerima keadaan. Mungkin itu yang sang Wayang rasakan...
Langganan:
Postingan (Atom)